Apakah Kita Punya Budaya Bangsa?
Bagaimana sosok budaya nasional di Indonesia? Sejujurnya
hingga kini tidak ada yang bisa diklaim sebagai budaya bangsa, karena semua
merupakan fraksi dari seni dan budaya etnis. Kita perlu formulasi baru budaya
bangsa.
“Anda tak perlu masuk ke wilayah budaya, karena disitu bukan
wilayah kemampuan Anda,” tukas seorang budayawan senior pada saya saat kami
berdiskusi tentang sinema Indonesia.
Saat ia bertanya “Mengapa film Indonesia
jaman sekarang jelek-jelek?” Dari mulai menjelaskan bahwa ada pergeseran cara
pandang pada sinema, juga bahwa kiblat generasi kini jelas berbeda dengan
generasi lampau. Kami sangat Amerika, karena itulah gaya hidup mulai dari
pakaian, musik, cara berinteraksi sampai dialek bahasa Inggris yang benar yang
kami pahami adalah dari Amerika Serikat.
Amerika Serikat adalah negara adidaya yang sangat kuat.
Mereka mampu melumat Vietnam hanya dengan satu orang saja (Rambo- red), sanggup
menemukan peradaban baru di angkasa luar (Star Trek), sanggup memenangkan
peperangan melawan invasi makhluk angkasa luar (Independence Day). Atau yang
paling elementer, bahasa Inggris ala Amerika tak hanya kita gunakan
sehari-hari, tapi juga oleh para Alien yang baru mendarat di bumi.
Itulah budaya kita, karena itulah yang kita lihat
sehari-hari lewat berbagai media audiovisual lewat propaganda budaya yang rutin
mereka lakukan dan menjadi industri terpenting kedua disana.
Budaya Nasional?
Lalu apakah kita punya budaya sendiri? Saya sih tidak
sepakat bahwa kita punya yang namanya budaya Indonesia. Masing-masing etnis di
Nusantara memang benar punya budaya dan seninya sendiri-sendiri, tapi saya
yakin kesemuanya itu sesungguhnya bukanlah budaya Indonesia.
Jika memang "Wayang Orang" adalah budaya kita,
lalu mengapa pertunjukan hariannya di kota Solo harus sepi? Sudah banyak
artikel, esai foto sampai dokumenter menceritakan kegelisahan bahwa grup Wayang
Orang di kota berbudaya sangat Jawa ini nyaris tewas! Lalu, berapa banyak sih
etnis Jawa yang betulan mampu menari Jawa atau orang Minang yang sanggup
merandai sebuah kisah rakyat.
Lalu jika adalah kelompok Tari Kecak tampil di kota Bonn,
Jerman, apakah Rivo Sikumbang di Bukittinggi merasa terwakili? Mungkin dia
bangga karena Bali adalah bagian dari Indonesia, tapi terwakili? Nanti dulu
dong. Karena memang kekayaan Nusantara itu faktanya bukan budaya Indonesia.
Mengapa Dewa 19 harus muncul ngepop, karena jika band asal
Surabaya ini muncul dengan corak pentatonik ala Jawa Timur saya yakin
popularitasnya tak akan sebesar sekarang. Jika saja Peter Pan muncul
menggabungkan musik Minang (karena Ariel beretnis Minang) dengan gamelan Sunda
(karena band ini berdomisili di Bandung) apakah mereka akan bisa mencapai
popularitas sebesar sekarang?
Percayalah... Jawabannya tidak. Kemudian jika ada band-band
membawakan musik dengan pengaruh langgam Melayu yang kuat macam Armada, ST 12
dan lainnnya bisa populer di Nusantara, saya rasa karena memang kebiasaan dan
keseharian kita sangat dipengaruhi kultur Melayu dan India.
Bahkan genre yang
disebut asli Indonesia seperti dangdut, sejatinya adalah perkawinan sempurna
antara musik Timur Tengah, gendang India dan alunan nada Melayu.
Formulasi Budaya
Lalu apakah budaya Indonesia itu? Nyatanya, kita selalu
berteriak bahwa kita sangat beragam. Nah jika tanpa sadar bahwa telah berkiblat
pada Amerika Serikat, mengapa tidak sekalian saja cara memformulasikan budaya
kita tempuh cara yang sama dan bahkan lebih terencana.
Korea Selatan telah melakukannya, mereka tak pernah
benar-benar mempromosikan tarian mereka yang memang lamban dan membosankan
untuk bisa dinikmati secara massif. Mereka muncul dengan film bunuh-bunuhan,
bacok-bacokan, kisah cinta penuh tangis atau lewat musik via Gangnam Style, G
Dragon sampai budaya K-Pop yang mampu melampaui penetrasi teknologi dan budaya
Jepang di barat sana.
Lewat cara yang di negeri ini akan dicibir sebagai “tidak
mengindahkan unsur kearifan lokal,” para warga dunia berbondong-bondong ingin
melihat seperti apa negara bernama Korea itu, ada apa dibalik sikap dingin
Utara dengan Selatan, apaan sih Gangnam itu sampai ketertarikan Hollywood untuk
memboyong Lee Byung Hun atau Jang Dong Gun menjadi bintang utama mereka.
Patut diingat, film produksi Indonesia paling dikenal di
barat sana bukanlah yang berisi tari-tari Bali, pemandangan pantai dengan nyiur
melambai apalagi pegunungan yang menghijau, bukan juga kebiasaan baca
"bismillah" sebelum melakukan korupsi. Tapi adalah The Raid yang 80%
kontennya praktis adalah kekerasan, walau tetap sang jagoan harus shalat dulu
sebelum beraksi.
Di musim dingin November 2013 saya sedang mencari sarung
tangan di sebuah toko pakaian di kota Belfast. Saya yang berada di dalam toko
tidak mendengar musik The Corrs apalagi U2, tapi Gangnam Style dari Korea
Selatan. Itulah penetrasi budaya, karena bahkan kebiasaan ngamen di depan
warung saja adalah produk budaya. Apalagi Film!!!
Tidak ada komentar: